Next Post

Ketika Revolusi Hijau Manjadi Momok Sangat Menakutkan

mediamerdeka.com/Rabu, 12 Juni 2024
Jansen Napitupulu/foto: mediamerdeka.com
Jansen Napitupulu/foto: mediamerdeka.com

Oleh: Jansen Napitupulu

ERA revolusi hijau muncul pada tahun 1960-an memicu jumlah produksi pangan dunia meningkat singnifikan. Badan Dunia FAO merilis, hasil pangan meningkat sebesar 50 persen hingga 60 persen di negara-negara sedang berkembang setelah Revolusi Hijau bergulir.

Tentu, muatan dari revolusi hijau itu mengagung-agungkan pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia dan benih unggul non organik serta mengedepankan industrialisasi. Lebih ekstrim disebut, tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia serta bibit unggul non organik produksi pangan dunia tidak akan meningkat signifikan.

Di Indonsesia, revolusi hijau tidak lain tidak bukan adalah Panca Usaha Tani yang bergulir pada awal orde baru di era pemerintahan Soeharto. Tak pelak, melalui intensifikasi pertanian hasil pertanian meningkat signifikan sehingga Indonesia meraih predikat swasembada pangan pada tahun 1983. Konon, sampai-sampai mengharumkan nama bangsa Indonesia. Namun, sekarang bangsa ini harus menanggung dampak lingkungan hidup yang buruk akibat tidak diputusnya dampak negatif revolusi hijau itu.

Ketergantungan Terhadap Pupuk Non Organik

Asdi Surbakti (51) seorang petani sayur mayur dan buah-buahan di Desa Merdeka, Kecamatan Merdeka, Berastagi, Sumatera Utara puluhan tahun bergantung kepada pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik. “Tanpa pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik usaha tanaman sayur mayur dan tanaman jeruk yang saya kelola bersama isteri tak akan pernah panen. Pokoknya, tiada hari tanpa pupuk kimia dan pestisida kimia,” katanya belum lama ini di lahan pertanian miliknya di Desa Merdeka.

Surbakti yang sebelum menikah pernah bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia ini adalah salah satu dari puluhan juta petani jadi korban revolusi hijau. Bahkan, lelaki bertubuh gemuk yang setiap hari mempekerjakan sebanyak 7 hingga 10 orang buruh tani ini adalah generasi ketiga yang mengandalkan pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik sejak era revolusi hijau bergulir pada tahun 1980-an di Indonesia. Betapa tidak, sebelum Surbakti terjun jadi petani sayur-mayur dan buah-buahan, kakek dan orang tuanya adalah petani sayur-mayur dan buah-buahan. Bahkan, ibunya meski berusia uzur pernah aktif menggeluti usaha pertanian sayur-mayur dengan mengandalkan pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik.

Alasan harus menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik, kata Surbakti, supaya tanah yang ditanaminya jadi gembur sehingga benih sayur-mayur maupun benih buah-buahan bisa tumbuh dengan baik. “Tidak akan bisa panen kalau tak pakai pupuk kimia dan pestisida kimia,” ujar Surbakti yang memiliki isteri bernama Rosmawaty Saragi ini. Tentu, alasan Surbakti sangat masuk akal. Pasalnya, lahan pertanian yang lama mengandalkan pupuk kimia dipastikan akan mengeras. Untuk menormalkan kondisi tanah supaya cepat gembur harus kembali menggunakan pupuk kimia. Juga menggunakan pestisida kimia dengan menyemprotkan ke daun dan buah akan selamanya dilakukan jika tidak sudi beralih menggunakan pupuk organik dan pestisida organik.

Memutus Mata Rantai Revolusi Hijau

Resiko pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia jelas merusak lingkungan hidup. Juga pemakaian pupuk kimia berkepanjangan dan serampangan membuat daya imun tanaman melemah untuk tumbuh subur. Pasalnya, tanah sebagai lahan pertanian mengeras, bahkan membatu karena sejak lama dibombardir pupuk kimia. Sedangkan pemakaian pestisida kimia berkepanjangan dapat melumpuhkan predator yang berguna bagi tanaman. Namun, petani seperti tidak memiliki pilihan lagi di mana harus menggunakan pupuk kimia di setiap jengkal lahan pertanian miliknya agar produksi pertaniannya meningkat sebagaimana diharapkan.

Sekarang, petani berdiri pada posisi lemah dalam kerangkeng semangat revolusi hijau. Diterima atau tidak diterima, suka atau tidak suka petani harus mengikuti ayunan irama revolusi hijau yang meninabobokkan itu. Pemerintah yang sejak awal mengadopsi revolusi hijau dari luar di masa orde baru tanpa sadar mempolarisasi kerusakan lingkungan hidup. Betapa tidak. Bergulirnya revolusi hijau hingga memasuki era reformasi dan negeri ini  sekarang dipimpin Presiden Joko Widodo belum muncul tanda-tanda perlawanan terhadap revolusi hijau secara signifikan. Buktinya, umumnya lahan pertanian dan perkebunan di negeri ini masih menomor satukan alias mengangung-agungkan pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik. Sebagaimana Surbakti mengakui, tiada hari tanpa pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia saat dia mengolah lahan pertanian miliknya.

Tidak hanya sebatas di lahan pertanian atau perkebunan menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia. Juga ibu-ibu rumah tangga dan gadis-gadis remaja yang noatabene bukan petani, baik itu di perkotaan maupun di pedesaan ketika menanam bermacam bunga di halaman rumah atau di pot-pot bunga umumnya menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia.

Semakin ekstrimnya pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia di negeri ini sepertinya didukung oleh pemerintah sebab semakin mengintensifkan kelanggengan keberlangsungan pabrik-pabrik pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik jadi program yang sangat digalakkan. Bahkan, tak sedikit pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik masuk ke negeri ini melalui pasar resmi maupun pasar gelap. Akibatnya, sekarang, dan sejak lama lingkungan hidup digilas revolusi hijau dan pemerintah seharusnya segera memutus mata rantainya supaya tidak seperti hantu yang sangat menakutkan.

Meski sudah terlambat, namun pemerintah harus bijaksana menangkap bahaya revolusi hijau dapat merusak lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan sumber daya hayati. Mulailah bergerak secara radikal merubah paradigma petani dan masyarakat luas supaya seratus persen mengandalkan pemakaian pupuk organik dan pestisida organik serta bibit unggul organik. Juga melakukan penyuluhan kepada masyarakat tani supaya meninggalkan pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia ketika mengolah lahan pertanian miliknya. Tentu, upaya merobah paradigma masyarakat tani tidak akan pernah berhasil selama pemerintah masih mengedepankan politik ekonomi yang sasarannya adalah petani itu sendiri. Maksudnya, pabrik-pabrik pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik harus segera dipadamkan, lalu diganti dengan mengintensifkan pabrik-pabrik pupuk organik dan pestisida organik serta benih unggul organik. Dengan demikian, petani tidak tergantung lagi kepada keberadaan pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik. Juga pemerintah harus ketat mengawasi pupuk kimia dan pestisida kimia serta benih unggul non organik agar tidak masuk dari luar negeri ke Indonesia. Setidaknya, pemerintah harus berupaya menggalakkan pembuatan pupuk organik dan pestisida organik serta benih unggul organik yang langsung diciptakan petani itu sendiri. Sebab bahan-bahan pokok pembuatan pupuk organik dan pestisida organik serta bibit unggul organik sangat mudah ditemukan di lingkungan petani itu sendiri. Jika pembuatan pupuk organik dan pestisida organik serta bibit unggul organik berhasil dilakukan petani untuk petani, tentu daya kreasi petani bertambah dan petani bisa lebih mandiri.  Selanjutnya pada gilirannya petani bisa berbisnis pupuk organik dan pestisida organik serta benih unggul organik sambil menunaikan pekerjaan pokoknya sebagai petani.

Sebenarnya, pembuatan pupuk organik dan pestisida organik lebih sederhana dan lebih murah biayanya sehingga petani tidak akan kesulitan membiayai pengelolaan lahan pertaniannya. Disamping itu hasil pertanian yang mengandalkan pupuk organik serta pestisida organik sangat sehat dikonsumsi ketimbang mengonsumsi hasil pertanian yang mengandalkan pupuk kimia serta pestisida kimia. Maka tidak guna heran, sejak revolusi hijau bergulir semakin banyak orang terkena penyakit gagal ginjal, tumor, kanker dan penyakit lainnya yang mematikan. Usia manusia pun tak bisa panjang lagi akibat setiap hari mengonsumsi makanan yang terkontaminasi bahan kimia. Sedangkan manusia yang hidup di masa sebelum era Revolusi Hijau, umurnya bisa panjang. Revolusi hijau itu adalah momok sangat menakutan dan harus dikalahkan!

(Jansen Napitupulu adalah Pemimpin Redaksi MEDIAMERDEKA.COM)

 

Buka mata