Next Post

Romantisme Pemakaman Terpadu Cikadut, Menjaga Warisan Budaya Kota Bandung

mediamerdeka.com/Minggu, 4 Agustus 2024
(foto: diskominfo kota bandung)
(foto: diskominfo kota bandung)

Tempat Pemakaman Umum (TPU) Terpadu Cikadut atau dikenal dengan sebutan Kuburan Cina adalah komplek pemakaman Tionghoa terbesar di Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung, yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung.

Kehidupan masyarakat Bandung Raya tidak bisa dilepaskan dari kontribusi etnis Tionghoa yang telah ada sejak tahun 1800-an. Salah satu aspek budaya yang unik adalah tradisi pemakaman mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Bandung yang beragama Islam.

Sebelum melangkah lebih jauh, Humas Kota Bandung ingin mengajak wargi Bandung untuk mengulas sedikit penamaan Cikadut.

Nama “Cikadut” memiliki sejarah yang menarik. Menurut buku Toponimi Kota Bandung karya T. Bachtiar, Etti R.S., Anto Sumiarto, dan Tedi Permadi, nama ini bermula pada era pemerintahan Hindia Belanda ketika dikeluarkan peraturan Re-Organisasi Priangan pada tahun 1870.

Peraturan ini memperbolehkan pemodal swasta membuka usaha di wilayah Priangan, termasuk di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Cikadut.

Di sebelah utara Cikadut, terdapat dua perusahaan ternak sapi potong milik orang asing. Sapi-sapi ini kemudian dijual ke pasar tradisional setelah melalui proses pemotongan.

Pada tahap pemotongan, bagian daging dan jeroan sapi, termasuk kadut (perut sapi), dipisahkan. Setelah dipisahkan, jeroan sapi, termasuk kadut, dikumpulkan di sebuah lumbung, lalu dibersihkan dan isi jeroan atau kadut sapi dibuang ke sungai.

Kawasan sekitar tempat pembuangan kadut sapi ini kemudian dikenal dengan sebutan Cikadut hingga saat ini.

Pemakaman Cikadut diperkirakan sudah ada sejak tahun 1909. Salah satu makam tertua adalah makam Ong Kwi Nio, yang bersebelahan dengan makam Tan Joen Liong, seorang luitenant Tionghoa di Bandung.

Keberadaan makam ini mengingatkan akan rumah kolonial di Bandung pada tahun 1900-an, dengan dua pilar di beranda dan atap yang khas.

Tidak hanya makam Ong Kwi Nio dan Tan Joen Liong, di Pemakaman Cikadut juga terdapat makam Ibu Djuriah, seorang Tionghoa beragama Islam, serta makam bersama satu keluarga korban kecelakaan.

Setiap makam di TPU Terpadu Cikadut memiliki cerita dan nilai sejarah yang tinggi. Ini menunjukkan keragaman budaya dan agama yang ada di Bandung.

TPU Terpadu Cikadut juga memiliki area kremasi pemakaman yang didirikan oleh Yayasan Krematorium Bandung pada 14 Oktober 1961 oleh sembilan pedagang Tionghoa yang tinggal di Bandung.

Berdasarkan keterangan yang tertera pada dinding pintu masuk krematorium, kesembilan orang tersebut–Tjon Way Lie, Oey Tjin Hon, Oey Tin Bouw, Tan Po Hwee, Tan Tjiauw Djien, Tjiao Tjin Host, Khuow Tjeng Loen, Tan Tek Jam dan Lo Siauw Tjong , mengumpulkan uang sejumlah Rp 15.000 untuk membangun Jajasan Crematorium Bandung yang saat ini telah berubah ejaannya.

Krematorium ini melayani proses kremasi sesuai tradisi Hindu dan Buddha, dengan tiga oven yang masih beroperasi hingga kini.

Pemakaman Cikadut, dengan segala romantisme dan sejarahnya, adalah warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.

Informasi tambahan, kini tempat pemakaman umum (TPU) Cikadut telah menjadi TPU Terpadu, di mana TPU Terpadu merupakan areal tanah yang disediakan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah untuk tempat pemakaman jenazah/kerangka jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan.

Diketahui saat ini data pemakaman di TPU Terpadu Cikadut berjumlah 8591. Dengan rincian data makam Covid-19 muslim dan non muslim sejumlah 3845 sedangkan makam biasa 4746. (ZIZ)

sumber: diskominfo pemkot bandung

Buka mata